Rabu, 04 Desember 2013

. Pelapisan dan Sistem Berpikir Mayarakat Jawa


Mata pencaharian pertanian, sangat berpengaruh dalam menentukan standar sosial dari masyarakat jawa. Wertheim membedakan kelas sosial sebagai “cikal bakal dusun” dan sebagai “pemilik rumah pekarangan”, yang pertama sebagai penghuni yang memiliki status kelas pertama, sedangkan untuk yang kedua menduduki kelas kedua (Mohamad, 1979:43). Memang, hal yang menjadi basis pelapisan sosial di Yogyakarta yang ada kaitannya dengan mata pencaharian pertanian adalah soal ketanahan ini. Sebab, tanah dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi mereka. Pelapisan masyarakat itu mungkin atas alas an kepandaian, tingkat umur (kesenioran), keaslian anggota kerabat dengan kepala masyarakat dan harta dalam batas-batas tertentu (Soejono, t.th.:121).
Mengenai bagaimana perluasan pelapisan masyarakat atas dasar kedekatannya dengan person “cikal-bakal dusun”, maka secara rinci dapat dituliskan sebagai berikut :
1.      Wong baku, sikap, kuli, kenceng. Lapisan masyarakat ini adalah mereka secara silsilah adalah sebagai keturunan langsung dari para pembuka-tanah (cikal-bakal dusun) setempat.
2.      Lindhung, indhung, kuli gudhul. Lapisan masyarakat ini meliputi mereka yang memiliki pekarangan, rumah atau tegalan atau sawah.
3.      Numpang . lapisan masyarakat ini terdiri dari mereka yang tidak memilki pekarangan dan tempat tinggalnya menumpang di atas pekarangan orang lain.
Walaupun prisip pelapisan masyarakat di atas tampak begitu transaparan kalau dilihat dari sudut teori, namun dalam praktek khidupan sehari-hari, terutama di kalangan masyarakat petani di desa-desa, sebenarnya pengetahuan tentang jelasnya urutan keturunan (silsilah) itu sangat kabur. Sebabnya adalah karena sering-sering urutan keturunan (silsilah) tersebut diberitahukan kepada generasi berikutnya hanya lewat apa yang disebut dongeng (cerita lewat mulut ke mulut) dan itupun yang melakukan hanya satu dua orang saja. Oleh karena itu masyarakat pedesaan yang petani itu hanya percaya begitu saa pada berita dari mulut ke mulut tentang silsilah seseorang, ditambah lagi mereka juga kurang selektif terhadap informasi yang bersifat dari mulut ke mulut tersebut, maka tidak heran kalau masyarakat petani pedesaan itu memiliki sistem berpikir suka pada apa yang disebut mitos.
Alam pertanian didesa juga menyebabkan timbulnya usaha untuk menaklukkan alam dengan cara menaklukkan diri sendiri. Kerangka berpikir ini menimbulkan kesukaan “priatin” yaitu tahan uji menanggung kepedihan perasaan atau hati, baik disebabkan fisik ataupun psikis untuk meraih sesuatu tujuan. Dalam istilah lain, dikenal juga sebutan “tirakat”. Dalam pandangan orang jawa, khususnya orang jawa di Yogyakarta, ada anggapan bahwa tirakat itu dapat membuahkan semacam “kekuatan bekerja pada diri orang bersangkutan” yang sifatnya tidak rasional.
Dalam tradisi yang dilakukan oleh orang jawa dalam hal tirakat dapat berbentuk sebagai berikut :
a.       Poso (puasa), yaitu seperti cara puasa orang islam hanya beda sedikit, yaitu tidak makan sahur, waktu poso itu tidak dibatasi (misalnya dari pukul sekian sampai pukul sekian)
b.      Ngrowot, yaitu makan terbatas pada jenis makanan tertentu, yaitu yang tidak berbiji (padi, jagung, kacang, kedelai dan sebagainya dihindari).
c.       Vegetarier, yaitu pantang makan daging.
d.      Mutih, yaitu seperti mengerjakan puasa dengan hanya makan nasi saja, tanpa lauk dan sayur. Dilakukan selama tujuh hari dan ditutup dengan upacara “pati geni”. Cara yang sering dilakukan adalah pada hari pertama makan tujuh suap nasi dan untuk setiap hari berikutnya dikurangi satu suap hingga pada hari ketujuhnya maka makan nasinya tinggal satu suap saja. Seterusnya pelaku mutih tersebut mencari tempat yang tertutup yang tidak memungkinkan sinar dapat masuk ke dalamnya, lamanya satu hari satu malam. Setelah berhasil melewati ini, baru boleh makan seperti biasa.

Kalau kehidupan masyarakat di pedesaan (yang bermata pencaharia pertanian) tanah dan kekayaan yang sering dijadikan ukuran pelapisan masyarakat, maka untuk masyarakat Jawa di kota, khususnya kota Yogakarta, pelapisan masyarakat ditentukan oleh kedekatan dengan keturunan bangsawan keratin. Salah satu bentuk pelapisan masyarakat itu seperti yang dituliskan oleh Gatut Murniatmo yang penulis kutipkan dibawah ini :
1.      Lapisan priyayi, yaitu mereka yang masuk keluarga keratin atau dianggap masuk ke dalam jaringan keluarga keratin. Rinciannya :
a.       Orang-orang yang benar-benar keturunan langsung atau keluarga raja.
b.      Orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh raja.
c.       Orang-orang yang menjadi pegawai pemerintah colonial (waktu zaman kolonial).
2.      Lapisan rakyat biasa, yaitu mereka yang berada di luar garis keturunan raja.

kalau di pedesaan di Yogyakarta taah dan mata pencaharian pertanian sangat berpengaruh dalam pembentuksn tata piker masyarakat di pedesaan tersebut, namun nampaknya, di dalam masyarakat Jawa di kota Yogyakarta tata piker mereka tidak banyak, tepatnya tidak begitu kentara terlihat, dipengaruhi oleh mata pencaharian penduduk di kota yang kebanyakan bergerak di dunia non-pertanian.
Tiga cara piker, yaitu mitos, bekerjasama dan priyatin, adalah sebagai hasil dari interaksi masyarakat desa Yogyakarta dengan mata pencaharian mereka dalam dunia pertanian. Satu cara piker, Manunggaling kawula Gusti, merupakan dampak langsung dari pelapisan sosial masyarakat jawa di kota yang di ukur dari “keingratan” orang. Jadi bukan di ukur oleh mata pencaharian orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar