Mata pencaharian pertanian, sangat
berpengaruh dalam menentukan standar sosial dari masyarakat jawa. Wertheim
membedakan kelas sosial sebagai “cikal bakal dusun” dan sebagai “pemilik rumah
pekarangan”, yang pertama sebagai penghuni yang memiliki status kelas pertama,
sedangkan untuk yang kedua menduduki kelas kedua (Mohamad, 1979:43). Memang,
hal yang menjadi basis pelapisan sosial di Yogyakarta yang ada kaitannya dengan
mata pencaharian pertanian adalah soal ketanahan ini. Sebab, tanah dianggap
sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi mereka. Pelapisan masyarakat itu
mungkin atas alas an kepandaian, tingkat umur (kesenioran), keaslian anggota
kerabat dengan kepala masyarakat dan harta dalam batas-batas tertentu (Soejono,
t.th.:121).
Mengenai bagaimana perluasan pelapisan
masyarakat atas dasar kedekatannya dengan person “cikal-bakal dusun”, maka
secara rinci dapat dituliskan sebagai berikut :
1. Wong baku, sikap, kuli, kenceng.
Lapisan masyarakat ini adalah mereka secara silsilah adalah sebagai keturunan
langsung dari para pembuka-tanah (cikal-bakal dusun) setempat.
2. Lindhung, indhung, kuli gudhul.
Lapisan masyarakat ini meliputi mereka yang memiliki pekarangan, rumah atau
tegalan atau sawah.
3. Numpang . lapisan
masyarakat ini terdiri dari mereka yang tidak memilki pekarangan dan tempat
tinggalnya menumpang di atas pekarangan orang lain.
Walaupun prisip pelapisan masyarakat di
atas tampak begitu transaparan kalau dilihat dari sudut teori, namun dalam
praktek khidupan sehari-hari, terutama di kalangan masyarakat petani di
desa-desa, sebenarnya pengetahuan tentang jelasnya urutan keturunan (silsilah)
itu sangat kabur. Sebabnya adalah karena sering-sering urutan keturunan
(silsilah) tersebut diberitahukan kepada generasi berikutnya hanya lewat apa
yang disebut dongeng (cerita lewat mulut ke mulut) dan itupun yang melakukan hanya
satu dua orang saja. Oleh karena itu masyarakat pedesaan yang petani itu hanya
percaya begitu saa pada berita dari mulut ke mulut tentang silsilah seseorang,
ditambah lagi mereka juga kurang selektif terhadap informasi yang bersifat dari
mulut ke mulut tersebut, maka tidak heran kalau masyarakat petani pedesaan itu
memiliki sistem berpikir suka pada
apa yang disebut mitos.
Alam pertanian didesa juga menyebabkan
timbulnya usaha untuk menaklukkan alam dengan cara menaklukkan diri sendiri.
Kerangka berpikir ini menimbulkan kesukaan “priatin” yaitu tahan uji menanggung
kepedihan perasaan atau hati, baik disebabkan fisik ataupun psikis untuk meraih
sesuatu tujuan. Dalam istilah lain, dikenal juga sebutan “tirakat”. Dalam
pandangan orang jawa, khususnya orang jawa di Yogyakarta, ada anggapan bahwa
tirakat itu dapat membuahkan semacam “kekuatan bekerja pada diri orang
bersangkutan” yang sifatnya tidak rasional.
Dalam tradisi yang dilakukan oleh orang
jawa dalam hal tirakat dapat berbentuk sebagai berikut :
a. Poso (puasa),
yaitu seperti cara puasa orang islam hanya beda sedikit, yaitu tidak makan
sahur, waktu poso itu tidak dibatasi (misalnya dari pukul sekian sampai pukul
sekian)
b. Ngrowot,
yaitu makan terbatas pada jenis makanan tertentu, yaitu yang tidak berbiji (padi,
jagung, kacang, kedelai dan sebagainya dihindari).
c. Vegetarier,
yaitu pantang makan daging.
d. Mutih, yaitu
seperti mengerjakan puasa dengan hanya makan nasi saja, tanpa lauk dan sayur.
Dilakukan selama tujuh hari dan ditutup dengan upacara “pati geni”. Cara yang
sering dilakukan adalah pada hari pertama makan tujuh suap nasi dan untuk
setiap hari berikutnya dikurangi satu suap hingga pada hari ketujuhnya maka
makan nasinya tinggal satu suap saja. Seterusnya pelaku mutih tersebut mencari
tempat yang tertutup yang tidak memungkinkan sinar dapat masuk ke dalamnya,
lamanya satu hari satu malam. Setelah berhasil melewati ini, baru boleh makan
seperti biasa.
Kalau kehidupan masyarakat di pedesaan
(yang bermata pencaharia pertanian) tanah dan kekayaan yang sering dijadikan
ukuran pelapisan masyarakat, maka untuk masyarakat Jawa di kota, khususnya kota
Yogakarta, pelapisan masyarakat ditentukan oleh kedekatan dengan keturunan
bangsawan keratin. Salah satu bentuk pelapisan masyarakat itu seperti yang
dituliskan oleh Gatut Murniatmo yang penulis kutipkan dibawah ini :
1. Lapisan
priyayi, yaitu mereka yang masuk keluarga keratin atau dianggap masuk ke dalam
jaringan keluarga keratin. Rinciannya :
a. Orang-orang
yang benar-benar keturunan langsung atau keluarga raja.
b. Orang-orang
yang melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh raja.
c. Orang-orang
yang menjadi pegawai pemerintah colonial (waktu zaman kolonial).
2. Lapisan
rakyat biasa, yaitu mereka yang berada di luar garis keturunan raja.
kalau di pedesaan di Yogyakarta taah dan
mata pencaharian pertanian sangat berpengaruh dalam pembentuksn tata piker
masyarakat di pedesaan tersebut, namun nampaknya, di dalam masyarakat Jawa di
kota Yogyakarta tata piker mereka tidak banyak, tepatnya tidak begitu kentara
terlihat, dipengaruhi oleh mata pencaharian penduduk di kota yang kebanyakan
bergerak di dunia non-pertanian.
Tiga cara piker, yaitu mitos,
bekerjasama dan priyatin, adalah sebagai hasil dari interaksi masyarakat desa
Yogyakarta dengan mata pencaharian mereka dalam dunia pertanian. Satu cara
piker, Manunggaling kawula Gusti, merupakan
dampak langsung dari pelapisan sosial masyarakat jawa di kota yang di ukur dari
“keingratan” orang. Jadi bukan di ukur oleh mata pencaharian orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar